Sejauh kita perhatikan
dalam sejarah, Hindu Dharma tidak memiliki satu pendiri seperti agama-agama
lain. Pustaka-pustaka suci kuno India (Veda) menyatakan bahwa dharma ini
sesungguhnya didirikan atau berasal langsung dari Tuhan Sendiri (dharman tu
saksadbhagavad pranitam). Dari sudut pandang kitab suci, ‘agama’ atau dharma
ini termanifestasi bersamaan dengan setiap kali penciptaan oleh kehendak Tuhan.
Setelah penciptaan siklik dari alam semesta yang menjadi tempat kita hidup saat
ini, Tuhan Tertinggi yang disebut sebagai Narayana dalam Veda, mengajarkan
dharma kepada Brahma, insan pertama di alam semesta. Brahma kemudian
mengajarkannya kembali kepada putra-putranya, salah satunya adalah Narada, yang
kemudian menyampaikannya lagi kepada Vyasa Mahamuni. Dengan cara inilah dharma
yang purba ini diturunkan melalui sebuah rangkaian garis perguruan yang bermula
langsung dari Tuhan melalui jutaan tahun yang tak terhitung lamanya.
Dengan demikian agama
yang bersumber dari Veda ini dikenal sebagai sanatana-dharma, atau agama yang
kekal, karena ia melampaui segala konsep ruang dan waktu buatan manusia. Kita
tidak boleh bingung antara sanatana dharma dengan keyakinan agama lain yang
bersifat sektarian, karena sanatana dharma ini sungguh-sungguh merupakan fungsi
yang asli dari sangjivatma, sebagaimana sifat cair tidaklah dapat dipisahkan
dari air.Nama atau kata modern Hinduisme atau agama Hindu, merupakan istilah
yang baru sajadikembangkan pemakaiannya kira-kira 700 tahun yang lalu oleh
penjajah Muslim di India. Adasebuah sungai yang disebut Shindu, yang salah
disebut oleh para penjajah ini sebagai Hindu.Semua orang yang tinggal di
seberang sungai itu, tak peduli apapun keyakinannya, disebut oleh mereka
orang-orang Hindu. Ajaran-ajaran suci dan nilai-nilai yang dianut oleh
orang-orang ‘Hindu’ ini secara mudah juga mereka sebut agama Hindu, untuk
membedakannya dari keyakinan yang mereka anut. Sehingga tentu saja salah
apabila kita menyimpulkan bahwa ada kemungkinan kita dapat melacak sejarah awal
agama kuno India berdasarkan penggunaan kata ini dalam sejarah. Kita harus
mengetahui bahwa dalam kitab-kitab suci ‘Hindu’ yang purba ini tak dapat
ditemukan satu kata Hindu pun. Namun kita menemukan kata sanatana-dharma(dharma
yang kekal), vaidika-dharma (dharma dari Veda), bhagavata-dharma (dharma yang
berasal dari Tuhan), dan sebagainya. Dharma ini senantiasa segar dan abadi.
Artinya dia tidak pernah ketinggalan jaman dan ada untuk selamanya. Dijelaskan
dalam sastra suci Veda bahwa kapanpun dharma ini melemahatau bahkan lenyap, maka
Tuhan Sendiri akan turun membangunnya kembali. Salah satuny adalah ketika
Beliau turun sebagai Sri Krishna 5000 tahun yang lalu. Beliau menegakkan
kembali dharma dengan memusnahkan berbagai kekuatan jahat dan menyabdakan
kembali Bhagavad-gita di tengah medan perang Kuruksetra. “Yada yada hi
dharmasya glanir bhavati bharata abhyutthanam adharmasya tadatmanam srijamy
aham,” Kapanpun prinsip-prinsip dharma mengalami kemunduran dan adharma
merajalela, pada saat itu Aku (Tuhan) sendiri turun untuk menegakkannya
kembali” (Bhagavad Gita 4.7). Dalam sejarah Veda, ada tak terhitung banyaknya
orang-orang suci yang datang dan menyebarluaskan ajaran-ajaran rohani yang
terkandung dalam Pustaka Suci Veda, tetapi tak satupun dapat disebut sebagai
pendiri agama. Masing-masing adalah murid (sishya) dari seorang guru dan
masing-masing juga menyampaikan pengetahuan yang sama sebagaimana diajarkan
oleh gurunya terdahulu. Inilah sistem Veda, tidak ada pendiri, karena setiap
orang pertama-tama dan utamanya adalah seorang murid. Dharma tidak bisa dibuat
manusia, diawali oleh manusia, atau bahkan oleh makhluk-makhluk lain yang lebih
dari manusia. Dharma dijelaskan sebagai ajaran dan petunjuk langsung dari
Tuhan, “dharman tu saksad bhagavad pranitam.” Dharma ini tidak bermula dari makhluk
fana apapun (apauruseya).
Bagaimana kita bisa
yakin bahwa ajaran Hindu yang bersumber pada Veda inisungguh-sungguh berasal
dari Tuhan? Mudah saja, pertama tidak ada yang bisa membuktikan kapan Veda
bermula. Veda sanatana, kekal abadi, anadi dan ananta, tiada awal dan
akhirnya,karena Veda merupakan sabda-brahma yang memancar (nigama) langsung
dari Tuhan YangMaha Esa, yang juga adalah sanatana, anadi, dan ananta. Kedua,
Veda merupakanapauruseya, tidak berasal dari makhluk fana. Tidak satu agamapun
yang bisa mengatakanajaran atau kitab sucinya apauruseya, semua agama lain
terbukti memiliki nabi yang mengawaliberdirinya agama itu. Ketiga, hanya dalam
Veda Tuhan Sendiri berjanji untuk menjaga dharma ini secara langsung. Beliau
Sendiri bersedia menyisihkan keagungan-Nya (paratva) untuk turunke dunia
menyelamatkan Veda-dharma. Beliau sungguh-sungguh menunjukkan betapa besarkasih
sayang-Nya (vatsalyatva) bagi pengikut Veda. Untuk mereka Beliau menyediakan
Diri-Nya untuk mudah didekati (saulabhya) dan dapat bekerja sama dengan mereka
menjaga dharma (sausilya).
Dalam agama lain,
ajaran seperti ini tidak ada. Secara logika (anumana) kita bisamenyimpulkan
bahwa tuhan yang dipuja di sana bukanlah Tuhan Sejati, karena tuhan itu tidak
mampu turun ke dunia. Apapun alasannya, apabila ada yang tidak bisa dilakukan
oleh suatu Ada/Being (vastu), maka pastilah itu bukan Tuhan. Bagaimana mungkin
ada tuhan yang tidak mampu melakukan sesuatu? Kemudian andaikata yang dipuja
itu adalah Tuhan Sejati yang disebutkan juga dalam Veda, maka Tuhan menganggap
selain Vedadharma tidak pantas atau tidak cukup layak mendapatkan perhatian
yang besar. Buktinya Beliau tidak bersedia secara langsung turun ke dunia
menjaga dharma non-vedik itu.
Hanya dari tiga
kenyataan ini saja kita sudah mampu melihat bahwa Veda dharma ini memang sungguh-sungguh
berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Sebenarnya lebih mudah membuktikankeabsahan
Veda dibandingkan ajaran-ajaran agama bernabi. Siapa bisa menjamin kalau
manusia-manusia yang disebut nabi, yang lahir tidak lebih dari beberapa ribu
tahun yang lalu itu, memang benar menerima wahyu dari Tuhan? Mereka hanya
membawa suatu ajaran yang berasal entah dari mana dan bersifat eksternal
(external unknown source). Mereka memaksa suatu masyarakat berubah di bawah ancaman
dan hukuman.
Berbeda dengan para
Maharishi. Para Maharishi menyatakan bahwa mereka hanyalah menyampaikan dharma
yang kekal, dharma yang terkandung dalam diri sejati kita. Mereka hanyalah
berusaha mengembalikan apa yang sesungguhnya memang milik kita, menyatu dengan
jati diri kita yang asli. Para Maharishi tidak datang untuk sekedar menyuruh
kita tunduk kepada Tuhan dan diri mereka sebagai utusan-Nya. Beliau-beliau ini
hanya menyatakan diri sebagai orang yang lebih dahulu menginsafi Brahman
Tertinggi, kemudian mengajak kita untuk turut mengalami sendiri potensi tak
terbatas kita dalam berhubungan dengan Brahman. Ajarannya merupakan cara kita
melatih diri menginsafi dharma sejati kita. Inilah yang menjadi dasar ajaran
rohani yang kini disebut Hindu itu.
Sambil mencoba mengisi content blog dan usaha untuk belajar untuk menjadi
seorang narablogger(bahasa orang yang senang ngeblog versi dagdigdug.com) biar
ke tingkat advance, dengan melakukan survey atau lebih tepatnya mengamalkan
ilmu follow the competitor, sampailah ke satu situs yang membuat jari-jari ini
berhenti ngeklik dan membaca dengan intense. Karena apa? di salah satu situs
yang sangat luar biasa saya menemukan satu artikel yang menguatkan atau
melengkapi postingan awal saya(Wedangga=Weda Sruti?...). Situs ini layak
mendapat 4 jempol(sampai jempol kaki), saya rekomendasikan dan saya jadikan
inspirasi/patokan/referensi dalam konteks pengkajian wedangga baik secara
keilmuan weda maupun keilmuan ilmiah. Situs yang beralamat di
http://ngarayana.web.ugm.ac.id/ ini dikelola oleh admin dengan nickname
ngarayana, yang sangat lugas dan cerdas, mengulas keilmuan weda yang
dikomparasikan dengan keilmuan ilmiah, sungguh ruarrrr biasa, salut!
Kembali ke judul post, pada postigan tanggal Rabu, 12 Agustus 2009, Ngarayana
menulis postingan judul "Poster kronologi pewahyuan Veda", saat
membacanya hati saya langsung berkata "nah ini dia yang saya cari",
langsung saya minta ijin untuk mengutipnya, membaginya disini dan mencoba
mekomparasinya dengan wahyu wedangga.
Pewahyuan Weda
Dalam artikel tersebut, dijelaskan bagaimana proses kitab suci Weda diturunkan
(Sruti) kepada 7 Sapta Maha Rsi yang akhirnya disusun menjadi kitab (Smerti)
oleh Bagawan Abiyasa/Vyasa. Bahkan sampai-sampai menyertakan posternya segala
(speechless saya bro, 4 thumbs up).
Menurut Kitab Weda yang konon telah diturunkan 1,9 Milyar tahun yang lalu
(buset) dengan cara lisan(Sruti), akhirnya pada tahun 3.138 sm dikodifikasi,
dikumpulkan dan ditulis ulang oleh Maha Rsi Vyasa.
Proses
pewahyuan/penurunan weda ini dapat dilihat di kitab yajurveda 30.7:
Yajurveda 30.7
Tasmad Yajnat sarvahuta
Rcah samani jajnire
Chandami jajnire tasmad
Yajus tasmad ajayata
Artinya;
“Dari Tuhan Yang Maha Agung dan kepadanya umat manusia mempersembahkan berbagai
yadnya dan daripadanya muncul Rgveda dan Sama veda. Daripadanya muncul
yajurveda dan Samaveda“
Dalam proses pewahyuan Weda tersebut, ada beberapa cara yang dikenal,
diantaranya adalah :
1. Svaranada, gema yang diterima oleh para Rsi yang kemudian menjadi sadba
Tuhan yang kemudian disampaikan kepada murid-muridnya.
2. Upanisad, pikiran para Rsi dimasuki oleh sabda Brahman dan berfungsi sebagai
penghubung dalam kondisi pendidikan “Param-para”
3. Darsana atau Darsanam, dimana para Rsi berhadapan secara rohani dalam suatu
situasi gaib yang bersifat spiritual.
4. Avatara, yakni pewahyuan dengan menerima langsung dari perwujudan Tuhan yang
menjelma langsung ke dunia, seperti Arjuna menerima ajaran Bhagavad Gita dari
Sri Krsna dalam medan perang Kurusetra
Sebagaimana dijelaskan dalam Brahma Samhita, Catur Veda diterima pertama kali
dari Tuhan Yang Maha Esa oleh mahluk hidup yang pertama, yaitu Dewa Brahma.
Dewa Brahma menurunkan ajaran Veda kepada sapta rsi (7 Rsi) yaitu;
1. Rsi Grtsamada, yang banyak disebut dalam hubungannya dengan turunya
wahyu-wahyu pada Rgveda Mandala 2.
2. Rsi Visvamitra, yang dikaitkan dengan seluruh Mandala 3 Rgveda.
3. Rsi Vamadeva, yang dikaitkan dengan Mandala 4 Rgveda
4. Rsi Atri, yang berhubungan dengan Mandala 5 Rgveda. Dalam keluarga Rsi Atri
disebut bahwa terdapat 36 Rsi penerima wahyu.
5. Rsi Bharadvaja, yang banyak dikaitkan dengan turunnya Mandala 6 Rgveda,
kecuali beberapa bagian yang berhubungan dengan nama Sahotra dan Sarahotra.
6. Rsi Vasistha, yang banyak berhubungan dengan Mandala 7 Rgveda. Dalam kisah
Mahabrata, rsi ini juga sering disamakan dengan Rsi Visvamitra.
7. Rsi Kanva, yang merupakan nama pribadi dan nama keluarga yang banyak
dikaitkan dengan mandala 8 Rgveda. Adapun mandala 9 dan 10 adalah kumpulan
wahyu yang diterima oleh beberapa Rsi yang lain.
Penyampaian Veda kepada seluruh umat manusia berlangsung melalui sistem
parampara dan sebagian besar hanya disampaikan secara lisan dari guru ke murid.
Hal ini berlangsung selama jutaan tahun. Sampai akhirnya pada akhir jaman
Dvaparayuga atau pada awal jaman Kaliyuga, Maha Rsi Vyasa (Veda Vyasa) yang
diyakini sebagai Avatara Tuhan melakukan kodifikasi, pengumpulan dan penulisan
ulang Veda. Hal ini beliau lakukan karena beliau sadar bahwa pada jaman
Kaliyuga ingatan manusia akan merosot tajam sehingga untuk membantu pengajaran
Veda selanjutnya diperlukan teks-teks Veda yang ditulis dalam kulit kayu, batu
dan sejenisnya (ngarayana,2009, Poster kronologi pewahyuan weda,
Misteri Pewahyuan Wedangga
Nah wedangga atau diartikan "Weda Ana Ring Angga" adalah satu
tingkatan spiritual dimana orang yang telah sampai di tingkat tersebut, akan
bisa membahasakan bahasa roh dalam bentuk mantra atau bahasa, berkomunikasi
dengan roh-roh suci, mempunyai kemampuan spiritual khusus dan dapat mendapat
wahyu berupa pengetahuan spiritual.
Wedangga ini identik dengan kemampuan berbahasa (bahkan bisa berbicara arab,
china, yahudi, latin/kristen dll, padahal orangnya gak pernah mempelajari
bahasa tersebut) atau mengucapkan mantra-mantra tertentu sesuai maksud
penggunaannya (sembahyang, pengobatan dan jaga diri) dan gerak-gerak (mudra)
yang sangat kentara sebelum melakukan kegiatan terutama persembahyangan.
Pewahyuan wedangga biasanya berlangsung dimana oarang tersebut masih dalam
keadaan sadar ketika menyampaikan wahyu tersebut. Ini berbeda dengan praktek
spiritual balian/mangku/jero dasaran (shamanic) yang umum di Bali. Kalau di
Bali masih dipercaya satu orang dengan tingkatan tertentu yang dianggap mampu
untuk menyampaikan pesan-pesan dari roh-roh. Biasanya menyampaikan pesan dari
pitara/leluhur atau ida sesuhunan(roh yang menjadi sungsungannya dalam praktek
spiritual) berupa pesan kehidupan, kesembuhan/sebab-sebab penyakit/malapetaka
dan pengetahuan tentang kehidupan spiritual. Untuk Di Bali praktek-praktek
pewahyuan dapat dibagi menjadi beberapa bagian:
1. Kerauhan
dimana mediator tidak sadarkan diri (trance) dalam menyampaikan pesannya, bisa
melaksanakan kegiatan yang diluar nalar seperti: mendadak bisa menari, menusuk
dirinya, bertingkah seperti binatang tertentu, di suatu kondisi tertentu
berbahasa yang diluar kemampuannya (jawa kuno dll). Jika dilihat dari kaca
spiritual, tampaknya mediator tersebut dipinjam raganya oleh roh-roh dengan
energi yang lebih besar sehingga kadang-kadang terlihat mediator menjadi lemas
setelah proses kerauhan tersebut dan pesannya kadang-kadang gak jelas (kadang
dalam keadaan menangis atau marah-marah gak karuan.
2. Jero Dasaran/Mangku Tapakan
Ini biasanya dilaksanakan oleh seseorang yang mendapat pengakuan sosial dari
masyarakat atau bisa dikatakan telah menjadi profesi di tingkat spiritual.
Orang tersebut hanya bisa mengarahkan roh-roh mana yang akan dimasukan
(katanya) sesuai dengan keinginan klien dengan perantaraan sarana sesajen
tertentu(beras, air,dll). Biasanya pesannya dapat didengar dengan jelas dan
terkontrol, namun masih bersifat kerauhan dimana mediator tidak sadarkan diri
atau menggunan sarana dupa sebagai pertanda waktu mediator untuk menyadarkan
diri, ketika dupa telah habis dan menyentuh tangannya (ya iyalah panas bok).
3. Titah/sabda
Ini biasanya diterima dimana kesadaran mediator masih dikontrol, biasanya
mediator dalam prosesi spiritual tertentu (sembahyang, meditasi, bertapa).
hanya didengar oleh mediator sendiri tidak bisa dibahasakan secara langsung
bersifat pribadi.
4. Tutur
Ini berbeda dengan kerauhan dimana mediator melakukannya secara sadar. Namun
pada waktu bicara, apa yang dibicarakan bukan berasal dari kehendak mediator.
Biasanya berisi ajaran-ajaran atau ilmu pengetahuan spiritual untuk
berkehidupan. Bahasanya dapat dimengerti, biasanya menggunakan bahasa Bali atau
bahkan bahasa indonesia.Tentu hal ini sangat sulit dan hanya dapat dilakukan di
tingkat spiritual tertentu, dimana keikhlasan dan pikiran mediator telah dapat
dikendalikan, sehingga tidak bercampur dengan tutur tersebut. Ini biasanya
dapat ditemukan setiap mengadakan persembahyangan bersama di pesraman(Purnama
Tilem atau Tirtayathra). Tentu yang mampu sebagai mediator "tutur"
tingkat wedangga-nya telah mumpuni dan telah mengetahui mantra kunci-kunci
tertentu, agar pesan yang datang tersebut betul-betul dari beliau bukan dari
roh-roh lain.
Jika dikaitkan dengan pewahyuan weda di atas nampak jelas beberapa persamaan
dalam konteks pewahyuan terutama dalam Svaranada (gema yang diterima oleh para
Rsi yang kemudian menjadi sadba Tuhan yang kemudian disampaikan kepada
murid-muridnya). Namun tetap kami ingatkan Weda bersifat universal sedangkan
wedangga untuk diri sendiri. Tutur hanya salah satu dari banyaknya ajaran agama
untuk menuntun kita dalam kehidupan. Semoga bermanfaat.